Rabu, 29 Agustus 2012

SELINTAS TENTANG SEJARAH KRITIK SENI MELALUI SALON

SELINTAS TENTANG SEJARAH KRITIK SENI
MELALUI SALON
Oleh: Dra. Lilik Indrawati



ROYAL SALON
          Pada abad 18 di Perancis, tercatat dalam sejarah bahwa kaum wanita memerintah suatu bangsa secara penuh. Sampai-sampai kata Rousseau tentang wanita pada jamannya adalah sebagai berikut: "segala sesuatu dikerjakan oleh dia dan untuk dia" (Gay & Pustaka Time Life, 1984). Kondisi semacam itu disebabkan oleh sikap sembrono dari Louis XV yang hanya mengejar kenikmatan, serta golongan ningrat yang lengah serta tidak memperhatikan peristiwa yang terjadi pada saat itu, yaitu munculnya gejolak dari berbagai gagasan yang mengguncang Eropa. Kemudian kaum wanita bangsawan membentuk negara Perancis sesuai dengan cita rasa mereka; berselera tinggi, cekatan dalam berfikir, penuh suka ria dan suka mengelabui" (Gay & Pustaka Time Life, 1984:41). Wanita menguasai kehidupan intelektual bangsanya, bahkan urusan Negara
          Louis XV adalah tipe orang yang mudah menjadi bosan. "Beberapa tahun sesudah pernikahannya, ia mulai terlibat dengan serentetan wanita, termasuk tiga bersaudara. Wanita yang dapat menyenangkan raja menguasai istana, tetapi untuk memuaskan keinginan Raja Louis yang wataknya sulit itu, diperlukan keterampilan yang luar biasa" (Gay & Pustaka Time Life, 1984:44). Madame de Pompadour adalah gelar yang diberikan oleh Louis XV pada Jeanne Antoinette Poison. Ia adalah seorang selir Raja Louis ke XV yang menjadi orang kepercayaan dan seringkali juga menjadi penasehat raja. "Madame de Pompadour memiliki semua persyaratannya: mempunyai bakat, selera dan penanganan yang tepat..." (Gay & Pustaka Time Life, 1984:44). Dia tinggal di apatermen formal milik raja yang dibangun oleh Louis XIV, yang kemudian didesain ulang dengan gaya Rococo yang baru, mewah dan seperti bidadari. Bahkan ada ungkapan bahwa Marquise de Pompadour dan gaya Rococo baru, keduanya berjalan bersama seperti sampanye dan kerang (Oyster), atau seperti anggur dan keju (Smith, 1984).
          Saat Pompadour masih tidak memiliki ruang miliknya sendiri, dia menggagas pertemuan antar orang-orang penting, seniman dan penulis yang bertemu dalam kelompok kecil dalam boudoir nya (salon atau kamar rias). Pompadour menggunakan kekuatan pertemanannya dengan Raja Louis XV untuk menggagas pembuatan seni (Smith, 1894).
 
Madame de Pompadour

          Pada abad 18 pengaruh sosial dari salon meningkat sehingga tidak terukur. Di tahun 1720 terdapat salon pada berbagai tingkat sosial, yang disajikan dalam berbagai cita rasa dan selera. Di setiap salon selalu terdapat wanita yang aktraktif dan menarik.
          Ketika gagasan baru yang menarik khalayak ramai meningkat, para wanita terkemuka di Perancis membangun salon dalam rumah mereka. Salon sangat besar pengaruhnya pada saat itu, sehingga pergerakan kaum cendekiawan berlangsung di ruang-ruang salon di Paris. Misalnya pembacaan puisi yang dilakukan oleh aktor Lekain, didengarkan pula oleh Jean Jacques, Rousseau, Diderot dan ahli matematika Jean Le Rond d’Alembert. Para bangsawan dan kaum terpelajar berbaur di salon. Yang satu melengkapi yang lain, sehingga hasilnya akan menjadi inti peradaban.
          Salah satu pemilik salon yang populer adalah Madame Geoffrin yang berasal dari keluarga borjuis. Dia menjadi terkenal secara internasional untuk suatu perusahaan yang terkenal yang bertemu di salon nya. Penulis populer, ahli filosofi seperti Diderot dan Voltaire menghormati perkumpulannya. Dia mengatur  salon nya hingga pada suatu saat menjadi tempat berkumpulnya para seniman, musisi, ahli filosofi dan pengarang. Tanpa status bangsawannya, Madame Geoffrin tidak akan dapat terkenal di lingkungannya. Dia tidak pintar, tidak jenaka, ataupun cantik; tetapi dia adalah orang yang mau mendengar dan bijaksana tanpa batas. Tamu-tamunya menyebutnya Maman (ibu). Salon nya memiliki aturan yang sangat ketat. Misalnya, tidak diijinkan bermain kartu saat pembicaraan atau diskusi sedang berlangsung seru atau seorang tamu tidak diijinkan berbicara terlalu panjang. Madame Geoffrin lembut dalam berkata-kata, tapi kuat dan baik sekali; sehingga sebutan lain baginya yaitu Viola qui est bien (Smith,1984). Salon nya benar-benar istimewa. Denis Diderot mengatakan bahwa Madame Geoffrin dikelilingi” … oleh semua orang yang berpengaruh di kota maupun di istana” (Gay & Pustaka Time Life, 1984:47).
          Ketika tahun 1673 dibuka akademi seni kerajaan di Perancis (Academie royale de peinture et de sculpture), maka kiprah salon sebagai tempat pameran para seniman di Perancis diambil alih oleh salon Paris (Salon de Paris) dengan peran juri yang berasal dari kaum akademisi dan bangsawan.

Suasana Salon milik Madame Geoffrin (bertudung hitam) saat mendengarkan pembacaan yang
dilakukan oleh aktor Lekain.


SALON D’APOLLON & SALON DES REFUSES
          Salon des Refuses adalah salon yang baru di Perancis, yang lahir karena pendukung salon yang lama (seniman/pelukis yang karyanya bisa masuk di Salon d’Apollon) hampir tetap jumlahnya, sedangkan pelukis yang ingin masuk dan yang ditolak jumlahnya makin banyak. Pelukis yang menentang ataupun ditolak oleh salon akhirnya membentuk kelompok baru untuk melawan kelompok semula. Begitu pulalah kelahiran Salon des Refuses.
          Pada tahun 1860an ketika Perancis di bawah pemerintahan Napoleon III, makin banyak seniman muda yang memisahkan diri dari salon lama karena tidak setuju dengan kebijaksanaan juri (I’Ecole des Beaux Art). Juri kebanyakan kaum akademisi dari Akademi Seni Lukis dan Seni Patung Kerajaan (Royal Academy atau dalam istilah Perancis adalah Academie royale de peinture et de sculpture), yang patuh mengikuti kaidah-kaidah akademis dalam berkarya. Sebuah karya haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu misalnya: kemahiran dalan menyatakan perspektif, anatomi yang tepat, draperi, komposisi yang seimbang dengan garis-garis lembut yang dramatis dan sebagainya. Para seniman muda sering tampak seperti bersantai-santai membuang waktu di restoran-restoran atau café-café dan di studio mereka, sehingga kaum akademis menuduh para seniman muda itu dengan sinis, bahwa seniman-seniman muda berkumpul hanya untuk banyak bicara saja tanpa berkarya. Padahal kenyataan yang sebenarnya para seniman muda itu banyak bekerja dan banyak berkarya untuk membentuk dan mematangkan seninya yang baru lahir itu dan yang masih memerlukan untuk dibicarakan, didiskusikan dan diperdebatkan dengan argumentasi yang bisa mendukung kelahiran seni yang lebih sempurna. Kelompok tersebut terdiri dari para pelukis, para penulis, para kritikus muda dan para seniman muda yang nantinya akan menjadi kelompok baru yang beraliran Impressionisme. Seniman muda itu antara lain adalah: Coubert, Charles-Baudelaire, Boudin, Fantin-Latour, Jongkind, Pissaro, Whistler dan Manet.
          Dalam situasi seperti itu, para juri salon malah unjuk gigi dengan memperkeras seleksi yang bersifat akademis tersebut. Pada tahun 1863 juri salon telah menolak 4000 lukisan dengan semena-mena. Akhirnya Napoleon III turut campur untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan dalih: (1) sebagai pribadi, ia mempunyai cita rasa yang sama dengan para juri, sehingga ia membeli lukisan sesuai dengan seleranya; (2) sebagai kepala Negara ia harus mengambil tindakan yang bijaksana untuk meredam kemarahan para pelukis muda tersebut, karena masalah tersebut dapat membahayakan Negara. Pada saat itu kehidupan seni di Perancis merupakan bagian yang penting dalam kehidupan nasional. Napoleon III kemudian memutuskan dan memerintahkan untuk memberi kesempatan kepada pelukis muda yang karyanya ditolak itu untuk dipamerkan di salon baru, yaitu Salon des Refuses.
          Dalam pertumbuhan seni modern, peristiwa Salon des Refuses merupakan benang merah yang terus saling sambung menyambung dan merupakan titik terang bagi perkembangan seni yang berikutnya. Namun bagi kaum borjuis, peristiwa Salon des Refuses merupakan skandal besar. Sejak saat itu para seniman tidak khawatir lagi, artinya bagi seniman yang cocok dengan aturan salon lama bisa memasukkan karyanya di salon lama; sedang seniman penentang akademis bisa memasukkan karyanya di salon baru (Salon des Refuses). Dalam perkembangannya ke arah seni modern, akhirnya pelukis mulai berhak untuk melukis sesuai dengan panggilan jiwa dan hatinya (Soetjipto, 1989).
          Beberapa karya seorang pelukis muda pada saat itu yang sempat ditolak di salon adalah, karya Manet yang berjudul Le Dejeneur sur L’Herbe dan Olympia. Meskipun pada akhirnya karya-karya tersebut dapat dipamerkan di Salon des Refuses.

Le Dejeneur sur L'Herbe, karya Manet tahun 1863, sekarang berada di Museum Louvre -Paris. Merupakan karya Manet menghebohkan dan memuakkan bagi publik dan juri.

OLYMPIA, karya Manet tahun 1863, sebagai salah satu karya yang ditolak oleh salon dan kemudian berhasil masuk salon pada tahun 1865

KESIMPULAN
          Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya keberadaan salon merupakan embrio dari wacana kritik seni dan kuratorial dalam pameran karya seni. Perbincangan tentang seni di salon dan di luar salon oleh para seniman yang karyanya ditolak oleh salon telah melahirkan fenomena kritik sebagai sebuah perbincangan dan pemberitahuan tentang adanya aktivitas kesenian. Demikian juga adanya ‘kriteria’ yang ditetapkan pada evaluasi karya seni di salon, merupakan fenomena kritik sebagai sebuah ‘evaluasi atau penghakiman’; serta merupakan embrio dari keberadaan kuratorial dalam pameran, meskipun istilah dan kiprah kurator di Indonesia baru mulai pada akhir 1980an. Karena itulah studi tentang kritik seni layak diawali dengan wawasan tentang salon.

DAFTAR RUJUKAN
- Gay, Peter & Pustaka Time Life. 1984. Abad Pencerahan. Jakarta: Tiara Pustaka
- Smith, Bradley. 1984. France a History In Art. New York: Doubleday & Company, Inc.
- Soetjipto, Katjik. 1989. Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern. Jakarta: DirJen DikTi. PPLPTK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar