Oleh: Agus Dermawan T (Majalah Visual Art)
Kecelakaan maut di kawasan Tugu Tani, Jakarta, pada 22 Januari 2012 silam menewaskan 9 orang sekaligus dan menciderai beberapa orang lainnya. Pengendara mobil itu Afriyani Susanti, 29 tahun. Dari pengusutan teridentifikasi bahwa Afriyani tatkala menyetir sedang dalam keadaan mabuk karena mengonsumsi minuman keras dan narkoba. Dalam penelitian lanjut diketahui bahwa Afriyani pernah kuliah di institut kesenian paling terkenal di Jakarta. Disimak dari latar belakang pendidikan, bisa disimpulkan bahwa Afriyani adalah seniman, calon seniman atau pekerja kesenian.
Tentu tidak ada hubungan antara seniman dengan kecelakaan di jalanan. Apalagi statistik menulis bahwa nyaris tidak ada keterlibatan seniman dalam begitu banyak kejadian di jalan raya. Namun ketika seniman dihubungkan dengan narkoba, realitas menunjukkan betapa “persekutuan” seniman dengan zat adiktif psikotropika itu ada, dengan fakta yang ribuan jumlahnya.
Tentu tidak sedikit seniman Indonesia yang dalam hidupnya bersih dari narkoba. Pelukis Srihadi Soedarsono, sastrawan Goenawan Moehamad, pematung Amrus Natalsyah, penyanyi Titiek Puspa, musikus Addie MS misalnya. Tetapi tidak terbilang seniman yang mengaku bahwa sukses keseniannya justru melalui momen ekstase kala mengonsumsi narkoba karena momen itu dianggap bisa menumbuhkan ilham, melahirkan inspirasi dalam penciptaan, menambah keberanian, menggandakan percaya diri dan mencairkan fantasi. Alhasil narkoba bagi jagad kesenimanan diposisikan dari bagian kehidupan. Meski diyakini pendapat itu keliru, dari zaman ke zaman momen ekstase seperti itu terus saja diburu.
Kita sudah seringkali menerima berita ihkwal penggunaan narkoba oleh kalangan seniman dan pekerja seni. Dari musikus yang baru tumbuh, pemain sinetron muda belia, bintang film setengah baya sampai penyanyi rock yang sudah punya cucu. Diiringi hebohnya kasus gaya selebriti mereka akhirnya dihukum. Namun hukuman itu dianggap hanya sebagai bagian dari kesialan (kenapa mereka ketahuan) dan bukan sebagai ganjaran hasil penerapan undang-undang.
Yang perlu disesalkan, ada sebagian masyarakat yang mengamini persekutuan seniman dengan obat-obatan jahat ini. Alasannya, yang dibutuhkan dari seniman adalah ciptaannya. Dengan begitu, apa dan bagaimana cara ciptaan itu dimunculkan adalah urusan seniman. Walaupun bila diketahui ciptaan itu lahir dari momen ekstase. Bahkan apabila karya seniman itu mencapai nilai tinggi, apalagi diterima baik di pasar, kehidupan si seniman disarankan untuk tidak berubah dan kehidupan ganjilnya dipelihara.
Penjunjungan seperti ini biasanya diterima saja oleh publik umum. Masalahnya, seniman dari awal diangkat sebagai manusia yang memiliki karunia khusus, ex speciali gratia atau orang langkah yang bisa melakukan sesuatu yang tidak bisa dikerjakan oleh orang lain. Suatu hal yang mengangkat seniman pada level in summa gradu (derajat amat tinggi) seperti jadi anggota kerajaan, pendamping raja atau penasehat kaisar pada zaman dahulu. Karena itu seniman boleh melewati jalan apa saja sekehendak hatinya. Anggapan seperti ini bukan muncul dalam dua puluh atau lima puluh tahun belakangan. Penyair Wang Wei yang hidup pada era dinasti Tang belasan abad lampau bahkan sudah masuk ke wilayah fatamorgana itu.
Namun tradisi minum dan ngeboat baru terekspos terang-terangan pada pertengahan abad 19, ketika seni modern bangkit di Eropa Barat, mengikuti ekor gelombang Revolusi Industri dan Revolusi Perancis. Individualisme yang tumbuh kala itu mengajak para seniman untuk berpacu sekuat tenaga mencapai prestasi. Berpuluh tahun kemudian gaya hidup ngeboat menjalar ke Amerika, dengan ikon aktris Marilyn Monroe, pemusik Jimi Hendrix, pelukis Basquiat, pemeran Charlie’s Angels Drew Barrymore dan juga Whitney Houston, penyanyi legendaris yang pada 12 februari kemarin mendadak wafat di Hotel Beverly Hilton, Los Angeles. Spirit “oleng-kemoleng” mereka jadi panutan seniman Indonesia sekarang. Spirit yang menjanjikan karya istimewa, tapi memastikan mati muda.
Pelukis Jean Michel Basquiat, merupakan salah satu seniman sukses
dari Amerika yang memakai obat-obatan terlarang selama hidupnyadan berujung pada kematian di usia muda
Untungnya seniman ditakdirkan lahir sebagai makhluk baik. Seniman tidak korupsi, tidak menipu, tidak nyolong dan tidak berbohong. Naluri seniman selalu berada di ranah kebenaran. Seniman selalu berhasrat menyenangkan orang. Seniman siap untuk kaya, tetapi tidak takut miskin. Seniman itu hakikatnya berhati polos (sampai kadang dikibuli, diperalat dan dikambing-hitamkan pihak lain). Dengan begitu, telernya seniman pun dianggap tidak membahayakan. Bahkan setiap ulah seniman kemudian diapresiasi dengan kata “unik” atau “maklum seniman”. Setiap perilakunya yang aneh diberi judul “nyentrik”, eksentrik atau sekedar di luar lingkaran kewajaran.
Hati baik seniman memang telah teruji berpuluh abad. Dari era Homerus di Yunani abad 8 SM sampai zaman seni kontemporer di kota-kota besar di Indonesia. Di Yogyakarta ada seorang seniman yang tubuhnya penuh tato dan rambutnya gimbal mirip Bob Marley. Seniman ini pernah mabuk berat sehingga ditangkap dan dipukuli polisi sampai giginya rompal (hancur). Namun ia tidak pernah dendam kepada siapa pun. “Mabuk saya untuk saya sendiri”, katanya.
Ia pun berkarya dalam mabuknya itu. Karya yang bagus dipamerkan untuk dijual dan uangnya sering disumbangkan untuk yang memerlukan. Ia pernah mengamen semalaman di Malioboro dengan gitar elektrik yang kabelnya sengaja diputus. Ia menyanyi sebisanya, diiringi gitar yang tentu saja tak mengeluarkan bunyi apa-apa. Pentas ini tentu saja menarik perhatian sehingga ia mendapat banyak uang dan seluruh uang itu lalu disumbangkan kepada para pengamen betulan di sepanjang jalan.
Sosok Bob Sick, seniman asal Yogyakarta yang tubuhnya
penuh tato dan berambut gimbal
Penyanyi rock Bob Geldof dari Irlandia bukanlah lelaki yang steril dari dunia mabuk, namun rasa kemanusiannya sangat tinggi. Pada suatu kali ia mengumpulkan para pemusik top seluruh dunia (yang sebagian besarnya juga suka teler) untuk membuat rekaman “Band Aid”. Album itu dijual dan seluruh hasilnya sebanyak 60 juta pounsterling disumbangkan untuk bencana kelaparan di Ethiopia. Ironisnya, album kemanusiaan itu justru dibajak habis-habisan di Indonesia yang berpancasila pada 1987 dan menghadiahkan rasa malu Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumatmaja. Kebaikan seniman diakui oleh banyak orang, sayangnya Si Baik selama ini masih sering bersekutu dengan obat-obat jahat yang bikin semaput.
Tragedi penabrakan yang dilakukan “seniman” Afriyani bagus apabila dijadikan momentum pemberantasan narkoba dalam tubuh masyarakat. Sekaligus tepat untuk dijadikan titik berangkat pembersihan narkoba dari dunia kesenimanan Indonesia. TANPA NARKOBA, SENIMAN JUGA BISA BERJAYA…!!!
Amien ya Allah…
SUMBER FOTO